Maaf ya makin lama makin jarang nge-post. Tapi gue akan selalu menyempatkan diri buat nulis disini (entah ada yang baca atau nggak), karena sayang banget kalo blog yang gue asuh dari jaman jahiliyah ini dianggurin gitu aja. Masalahnya, gue sudah tidak senyaman dulu dalam menulis hal-hal pribadi atau yang berhubungan dengan keseharian gue seperti saat SMP dan SMA dulu, jadi ya, sekarang apa yang mau gue tulis disini, biasanya hal-hal yang sifatnya lebih umum atau yang udah lama nyangkut di pemikiran. Dan nggak setiap hari gue menemui hal-hal umum atau mendapat pemikiran yang cukup menarik atau menggelitik untuk dituliskan disini. Tapi buat yang bertanya-tanya apakah alasan gue akhir-akhir ini jarang nulis di blog atau tidak seaktif dulu di media sosial salah satunya karena sedang mengerjakan TA, jawabannya adalah: TIDAK. HAHAHAHA.
.........Oke. Lanjut.
Jadi semester ini (atau setaun belakangan ini lebih tepatnya) lebih banyak gue habiskan untuk menonton bermacam seri. Yup, seri, series, series as in TV series. Bukan anime lho tapi. Ya, siapa tau liburan ini lo bingung mau ngapain dan tulisan gue bisa berguna buat acuan kalo mau ngisi liburan dengan marathon serial TV. Kegemaran ini dimulai saat gue lagi suntuk banget, dan memutuskan untuk coba nonton satu episode Parks and Recreation yang kata orang bagus dan gambarnya bertebaran dimana-mana terutama di Tumblr. And it indeed lived up to the hype; meski gue salah karena mencoba nonton dari episode 1 season 7 (yang ternyata season finale, nyet. Bego nggak sih), tapi gue langsung terpikat. Meski temanya bukan tipe tema yang gue pikir menarik (people in the office and their governmental/bureaucracy works, anyone?), tapi toh jatohnya nggak berat dan menarik karena dikemas dalam balutan komedi yang cerdas (dan sedikit drama). Memang tetep ada political undertone dan American references yang penonton awam belom tentu ngerti, tapi nggak sampe mengganggu, kok. Toh serinya juga nggak berat sebenernya, bukan yang tiap episode terus menerus ngomongin politik dan isu-isu berat. Bahkan banyak dialognya yang relevan sama kehidupan sehari-hari kita, malah.
Selain Parks and Rec, dan mumpung lagi sering download di ez.tv, gue juga mencoba seri-seri superhero yang beberapa bulan lalu lagi hype: Gotham, The Flash, dan Daredevil. Ketiga seri ini menarik di pilot episode-nya, tapi cuma Daredevil yang bikin gue betah ngikutin sampe akhir.
Gotham gue drop karena ceritanya kurang bagus, kadang bertele-tele, dan kebanyakan gimmick. Buat yang biasa baca komik, mungkin nggak ada masalah ya sama gimmick-nya. Cuma gue nggak suka aja, Gotham ini kesannya nampilin tokoh tertentu cuma buat "EH DIA NANTI JADI RIDDLE LOH MUSUHNYA BATMAN!! TUH KAN LIAT DIA DI-BULLY DI TEMPAT KERJANYA, DIA LAMA-LAMA JAHAT LOH!!!!" atau "Eh liat nggak gadis kecil yang tadi??? Itu Poison Ivy loh sebenernya. Gue juga nggak tau sih apa kontribusi dia buat plot utama, tapi yaa biar fans seneng aja.". Ngerti, 'kan? Gue nggak tau Gotham ini ditargetin jadi beberapa season, tapi diliat dari progress ceritanya sih, bisa aja sampe belasan season. Nah, entah karena gue bukan penggemar berat Gotham-verse apa gimana, gue jadi kurang merasa terikat sama seri ini. Tokoh-tokohnya pun nggak segitunya menarik, bahkan Comissioner Gordon yang notabene tokoh utama dan tipenya menjanjikan (satu-satunya orang 'lurus' di lingkungan yang korup), jadi begitu aja karena elemen cerita yang lemah. Tapi gue belom selesai season 1 loh, jadi bisa aja selanjutnya baru mulai serunya. Cuma sayangnya gue orangnya cepet bosen sama serial yang panjang (Parks and Rec yang nggak ngebosenin pun gue tetep butuh jeda buat nontonnya), dan kalo di season 1 udah lemah, kemungkinan gue nggak bakal ngikutin lagi.
The Flash pun gue drop. Tapi gue masih lebih suka Flash daripada Gotham, padahal gue lebih familiar sama Gotham-verse. Kenapa? Soalnya, sejauh yang gue ikuti, Flash ini repetitif banget. Tiap episode ada aja penjahat komikal yang muncul. Muncul, dihajar sama Barry dkk, akhirnya kalah atau mati. Episode berikutnya lanjut gitu lagi. Mirip serial tokusatsu jadinya, dan kebetulan gue bukan penggemar serial semacam tokusatsu, hehe. Tapi ya, meski penjahat yang muncul lebih komikal dari Gotham (well duh, it's from a comic and the story basically told us that everyone who was exposed to the radiation from S.T.A.R Labs explosion will suddenly harness a super power, mostly elemental), tapi Flash ini less gimmick-y, bukan yang tiap episodenya nyuguhin easter eggs yang dipaksain. It was fun alright, but I got bored eventually. Subjektif memang. Liat dari tone serialnya sih Supergirl yang nanti bakal tayang ini mirip-mirip sama Flash: intinya gimana seorang anak muda memberantas kejahatan di kotanya sambil tetap menjalani kehidupan sehari-hari dan menutupi identitasnya sebagai superhero, terutama dari orang-orang terdekat. Simpel. Tapi mudah-mudahan Supergirl jadinya nggak terlalu klise ya.
Nah, kalo Daredevil ini punya kualitas yang nggak dipunyai dua serial superhero yang gue sebutkan sebelumnya. Daredevil nggak repetitif, ceritanya bener-bener nyambung dari episode ke episode. Dari awal sampe akhir ya musuhnya dia-dia aja. Padahal premisnya mirip kayak gabungan dari Gotham dan Flash; di mana Matt Murdock merupakan satu dari segelintir kecil orang yang 'lurus' di Hell's Kitchen yang korup dan dikuasai mafia, berusaha memerangi kekorupan yang ada dengan pekerjaannya sebagai pengacara, namun di saat yang sama juga menyembunyikan identitasnya sebagai Daredevil yang memberantas kejahatan para mafia tadi.. secara fisik. Dua unsur inilah yang menarik buat diikutin, karena baik Matt Murdock sebagai pengacara maupun alter ego-nya yaitu Daredevil bisa sama-sama berkontribusi menyelesaikan kasus yang sama. Konflik antar tokohnya pun ada dan nggak klise. Tokoh Foggy bukan jadi sekedar trope "funny fat guy sidekick" aja, tapi juga ngaruh langsung ke plot. Tadinya pun gue cemas Daredevil ini bakal cuma jadi sekedar set-up atau penghubung buat film-film MCU berikutnya *uhuk Agents of S.H.I.E.L.D uhuk* tapi ternyata nggak. Ada sih easter egg yang mengacu ke kejadian di film Avengers pertama, tapi ya cuma disebut sekali doang, itupun nggak blak-blakan disebutinnya. Selain itu, gue suka penokohan villain-nya, yaitu Wilson Fisk alias Kingpin, yang lebih dieksplor sisi kemanusiaannya. Kadang gue merasa tokoh-tokoh di Daredevil ini rada 'abu-abu' malah, dan nggak terlalu komikal. Tone-nya emang sih lebih serius dari Gotham dan Flash, malah untuk ukuran serial superhero Daredevil ini tergolong 'noir', lebih cocok dibilang serial crime drama. Tapi gue prefer yang kayak gitu, jadinya yang dijual itu plot dan perkembangan karakter, bukan gimmick. Balik ke selera masing-masing kali ya, karena ada yang berpendapat superhero memang harusnya punya tone ceria dan fun. Gue kebanyakan nonton film superhero yang 'gelap' mungkin, hahaha. Lucu lho, soalnya untuk film biasanya DC yang gelap, Marvel yang ceria.
Ya, pokoknya semoga ke depannya Daredevil bisa meningkatkan atau seenggaknya mempertahankan kualitasnya deh.
Daaaan, selain serial-seria di atas, yang paling baru gue ikutin adalaaaaaaaah *drum roll please*
GAME OF THRONES!
Yes, I finally joined the much hyped, mainstream bandwagon. Bukan semata karena biar nggak ketinggalan hype atau biar bisa terlihat keren aja, tapi karena gue penasaran: sebagus apa sih GoT sampe bikin banyak orang, baik yang geek maupun enggak, jadi ngikutin dan tergila-gila sama serial ini?
Pertanyaan gue langsung terjawab setelah gue coba tonton sendiri.
Harus gue akui, pilot episode-nya, alias episode pertamanya, sebenernya nggak keren-keren amat. Orang yang nggak terbiasa sama tema medieval, fantasi, kerajaan, dan politik, mungkin di episode pertama nggak bakal langsung tertarik. Gue pun merasa biasa aja nonton episode pertamanya, agak bosen malah. Tapiii, sialnya gue merasa penasaran sama kelanjutan konfliknya, maka gue pun lanjut ke episode 2. Eh mulai seru, dan gue penasaran lagi. Lanjut ke episode 3. Gitu terus sampe gue menyadari betapa serunya GoT dan tau-tau udah di episode paling baru di season 5. Menurut gue sih, the fun begins at the second episode. Bayangkan aja GoT sebagai versi manusia dari Lord of the Rings with less fantasy and less cliche yang dipotong-potong jadi beberapa episode. Singkatnya sih, GoT ini punya aspek yang memikat: konflik yang rumit namun menarik audiens buat terus-terusan ngikutin, tokoh yang beragam dan bikin geregetan (entah karena dia ganteng dan heroik banget, atau sadis dan minta dibunuh banget—yang jelas tetep keren), universe-building yang bagus, dan plot yang solid, meski ceritanya nggak linear. Selain itu, dua season awal GoT, tiap episode-nya hampir nggak pernah absen dari yang namanya kehadiran cewek topless, telanjang, atau bahkan adegan seksnya sendiri. I know, sex sells. Mungkin ini salah satu faktor juga kenapa GoT jadi sebegitu terkenal. Ini juga kelemahan sih, karena banyak adegan dewasa yang sebenernya nggak penting ditampilkan, tapi tetep ada demi menarik massa; dan feminis mungkin bakal nggak suka GoT (bakal gue bahas lebih lanjut kapan-kapan). Tapi makin ke belakang adegan-adegan gituannya berkurang kok. Di tingkat ini gue rasa GoT nggak perlu pake fan service lagi buat narik penonton, karena ceritanya udah semakin seru dan mulai banyak aksi. Selain fan service yang nggak perlu, GoT juga perlu ngurangin pemakaian shock value yang nggak perlu cuma demi rating (you know what I'm talking about if you already watched S05E09). Hehehe. Pokoknya tonton aja dan putuskan sendiri ya, apakah lo termasuk pasar mainstream pemuja GoT apa bukan. Gue sih, iya. Dan siapin hati aja buat nggak terlalu attached sama satu karakter tertentu kalo nggak mau syok. 8))
Sebagai orang yang baru beberapa hari ngikutin GoT, gatau apa atau kapan itu Red Wedding, dan barusan sampe S03E09: pic.twitter.com/6NpW6N0p9z
— Cessi (@cessitaputri) June 7, 2015
P.S.: ngabuburit jangan nonton GoT, pokoknya jangan.