Sang Gadis merias wajahnya. Bagaikan ritme musik yang jutaan kali dimainkan, jari-jari lentiknya tahu harus ke mana selanjutnya: alis, mata, bibir, pipi. Nyaris tiap jengkal wajahnya ia perindah dengan warna dan dimensi, namun tidak berlebihan hingga mengundang tanya. Ia hanya hendak pergi bekerja, bukan menghadiri pesta. Dalam hitungan menit, sang gadis siap menghadapi dunia.
Sang Pria adalah rekan kerjanya. Tidak terlalu dekat, tapi cukup dekat untuk bertegur sapa, sesekali bertukar tanya dan tawa. Pagi itu Sang Pria bersandar di kursinya, jarinya mengetuk sesuai irama lagu entah apa yang ia dengarkan di laptopnya lewat penyuara telinga. Wajahnya tampak serius, dan tak seperti biasanya, ia mengenakan kemeja. Kemeja rapi, layaknya sihir, seringkali menciptakan efek memikat pada lelaki mana pun. Tak terkecuali mata Sang Gadis yang merasa dimanja.
Sang Gadis tiba dan menyapa, di bibirnya tersungging seulas senyum tipis. Sayang, Sang Pria yang telinganya ternyata sedang dijejali oleh raungan musik metal, tentu tidak menggubris. Sang Gadis menunduk malu, berlalu menuju tempat kerjanya.
Di antara bilik-bilik serta meja kursi yang beradu kelabu, bagi Sang Gadis, Sang Pria adalah mataharinya.
Hari semakin sore. Sejak pagi, sudah terlanjur tertanam satu imajinasi di kepala Sang Gadis: ia dan Sang Pria akan menonton sebuah film di bioskop malam ini. Duduk berdampingan, tertawa, dan berdiskusi setelahnya. Jantungnya berdegup, kedua matanya sesekali mencuri pandang pada Sang Pria dengan gugup. Ia tampak manis hari ini, batinnya. Kadang Sang Gadis berharap terlahir lelaki, karena pikirnya melakukan pendekatan duluan pada pujaan hati tidak akan sesulit ini.
Berulang kali Sang Gadis mencoba mereka percakapan fiksi dalam kepalanya. Merangkai kalimat-kalimat kasual untuk sekadar berbasa-basi dengan Sang Pria dan melancarkan misi. Haruskah aku mengajak yang lainnya? Sempat terbersit di benak Sang Gadis. Mungkin berdua saja terlalu berlebihan. Tapi Sang Pria dalah tipe yang nyaman berdua, bertiga, bertujuh, dan seterusnya. Jumlah massa bukan masalah.
Setelah perdebatan panjang antara ia dan kata hatinya, menelan bulat-bulat deretan kecemasan dan kemungkinan yang hanya akan menghantui, Sang Gadis akhirnya memberanikan diri. Hidung kecilnya segera disambut wangi kesturi bercampur kopi. Sang Pria sedang menyesap kopi instan hangat di gelasnya saat Sang Gadis hadir di sebelahnya. Mengajaknya berbasa basi seputar pekerjaan hari ini, seputar otak mereka yang butuh relaksasi, seputar film yang sedang tayang, dengan senyum lebar terbentang tanpa paksa di antara pipi manisnya. Dan bagai aktris yang telah mengucap dialognya ribuan kali, Sang Gadis mengutarakan keinginannya.
Sang Pria tersenyum hangat dan menjawab dengan sebaris kalimat. Namun yang Sang Gadis dengar hanyalah kata "maaf" dan "ada janji", memecahkan lamunan akan duduk berdampingan, tertawa, dan berdiskusi setelahnya.
Sang Gadis pulang dengan gontai. Otaknya berusaha memaklumi yang baru saja terjadi, tapi hatinya mengkhianati. Senyum yang merekah di wajahnya tadi kini tunduk pada gravitasi. Sisa keberaniannya sudah lenyap ditelan bumi.
Malam tiba. Layaknya jutaan gadis bosan lainnya di Jakarta, ia membuka sosial media. Berharap ada sesuatu yang dapat menghiburnya di antara wajah-wajah terpoles, jepretan foto yang tertata rapi, dan lengkingan suara teman-teman yang menyelingi.
Tapi lagi-lagi Dewi Fortuna tampaknya enggan berpihak pada Sang Gadis, karena yang ia dapatkan malam itu adalah foto secarik tiket bioskop beserta ulasan singkat untuk film yang ingin ia saksikan dengan Sang Pria. Hanya saja, Sang Pria sendiri yang mengunggahnya. Tidak jelas menonton dengan siapa, bukan dengan Sang Gadis tentunya. Semangat Sang Gadis menguap seketika. Alih alih menonton film idaman, malam itu ia sibuk menonton skenario demi skenario buruk terbaru yang ditulis, diwujudkan, dan ditayangkan tanpa henti oleh Sang Gadis sebagai sutradara dalam pikiran.
Esok pagi, Sang Gadis memulai rutinitasnya. Alis, mata, bibir, pipi. Beri warna, ciptakan dimensi. Kali ini dengan lebih sedikit usaha karena semangatnya belum juga tiba. Perjalanan ke kantor yang hanya butuh waktu 30 menit terasa bagai 3 jam untuk Sang Gadis yang memulai hari dengan bermuram durja.
Sang Gadis menginjakkan kakinya di lantai 20 yang selalu ia nantikan selama setahun terakhir, kecuali saat itu. Kedua matanya menyapu dan mengintai seluruh ruangan, tanda-tanda kehadiran Sang Pria tak ditemukan. Yang ada hanyalah senyum sumringah dan gelak tawa beberapa rekan kerja yang duduk di seberangnya. Salah satunya seorang gadis muda yang bahkan tetap lebih cantik meski riasan tak menghiasi wajahnya. Sayangnya rasa bahagia dan kecantikan bukan virus menular, karena Sang Gadis sangat bersedia dijangkiti olehnya.
Di atas sana, Dewi Fortuna terbahak-bahak mendengar keinginannya.
Percakapan demi percakapan terus bergulir dari mulut para rekan kerja. Sang Gadis tiba-tiba menyesal telah memasang telinga dan bukan tembok kedap suara, karena bisik-bisik yang ia dengar selanjutnya nyaris membuatnya ternganga.
Bersamaan, Sang Pria melangkah masuk ke ruangan dengan kaus hitam andalan. Percakapan dan gelak tawa sekejap tak terdengar, berganti dengan tegur sapa bernada ceria.
Sang Gadis mengalihkan pandangan, dan jika bisa, ia juga ingin mengalihkan pikiran dari dunia kecilnya yang perlahan diruntuhkan realita. Hatinya kini divonis positif—positif merana. Penyebabnya? Teman nonton Sang Pria semalam tak lain adalah si gadis muda yang cantik tanpa riasan. Hanya berdua. Begitu yang ia dengar tadi.
Di antara bilik-bilik serta meja kursi yang beradu kelabu, bagi Sang Gadis, Sang Pria seharusnya adalah mataharinya.
Tapi tidak hari itu, karena hujan mendadak turun dengan derasnya.
Jakarta, dini hari. Tidak terinspirasi dari kisah nyata.