Belum lama ini, saya baru selesai membaca satu judul manga buatan Arakawa Hiromu yang sempat booming di dekade awal tahun 2000an. Ya, apalagi kalau bukan Fullmetal Alchemist. Sebelumnya, saya cuma nonton animenya (Fullmetal Alchemist: Brotherhood) di Animax waktu SMA, itupun sepotong-potong. Teman saya banyak yang suka, tapi entah kenapa waktu itu saya merasa biasa saja, tidak terlalu tertarik. Lalu bertahun-tahun kemudian, pacar saya yang memang rajin meminjam manga di rental langganannya, datang dengan membawa beberapa jilid awal komik Fullmetal Alchemist—yang selanjutnya akan saya singkat menjadi FMA. Rupanya dia mau membaca ulang FMA yang sebelumnya pernah ia tamatkan. Karena komik-komik yang saya ikuti belum keluar jilid terbarunya di rental, maka saya tergoda untuk ikut membaca FMA, selain karena si pacar yang meyakinkan saya bahwa komik ini keren dan bagus ceritanya.
Lalu tahu-tahu, 27 jilid saya lahap habis dalam waktu sekitar satu mingguan saja. Sungguh, ceritanya adiktif dan selalu bikin penasaran! Saya memang terbilang telat beberapa tahun untuk baru menyukai serial ini, tapi mengutip komentar seorang teman saat ia mengetahui saya yang (juga) baru mengikuti dan menyukai komik Monster-nya Naoki Urasawa: tidak ada kata telat untuk mengikuti karya masterpiece.
Maka kali ini, saya ingin menulis beberapa alasan mengapa kamu—yang mungkin lahir pada akhir tahun 90an atau awal 2000an dan lebih akrab dengan anime seperti Attack on Titan, Sword Art Online, dan sejenisnya—sangat disarankan untuk membaca serial ini, setidaknya sekali. Oh ya, saya akan mencoba meminimalisir kadar spoiler disini, karena tulisan ini tidak hanya dibuat untuk membuat penggemar lama FMA mengangguk setuju dan bernostalgia namun juga untuk menarik minat pembaca-pembaca angkatan muda, hehe.
Fullmetal Alchemist bercerita mengenai Elric bersaudara, Edward dan Alphonse. Keduanya merupakan ahli alkimia berbakat yang masih belia, dan hal ini tidak lepas dari kejadian yang menimpa mereka semasa kecil. Saat ibu mereka—satu-satunya anggota keluarga yang mereka miliki—meninggal, Ed dan Al berusaha menghidupkannya kembali dengan melakukan transmutasi manusia, salah satu praktik alkimia yang dilarang keras oleh negara. Sayangnya, percobaan mereka berakhir tragis. Alih-alih menghidupkan kembali sang Ibu, Ed sang kakak harus kehilangan tangan kanan dan kaki kirinya, sedangkan Al sang adik malah kehilangan seluruh tubuhnya dan jiwanya harus 'hidup' di sebuah baju zirah kosong. Sejak saat itu, Ed dan Al pun mencari cara untuk mengembalikan tubuh mereka seperti semula, yang mereka yakin bisa terwujud dengan Philosopher's Stone, batu bertuah legendaris yang konon memiliki kekuatan yang sangat besar dan memungkinkan seorang ahli alkimia untuk membuat apapun. Untuk memudahkan pencariannya, Ed juga mendaftar untuk menjadi ahli alkimia negara yang mempunyai akses lebih luas (dan dana, tentunya) untuk melakukan riset dan penelitian dalam dunia alkimia. Karena lengan dan kakinya yang kini dipasang prostetik berbahan automail (semacam besi), Ed diberi gelar "Fullmetal Alchemist". Pencarian mereka akan Philosopher's Stone pun dimulai.
Sekilas membaca komik ini, mungkin kita akan mengerutkan dahi karena belum apa-apa, pembaca rasanya sudah disuguhi hal-hal berat seperti hukum-hukum alkimia, Philosopher's Stone, transmutasi, dan lain sebagainya. Tapi jangan buru-buru mengecap FMA sebagai 'komik berat', karena nyatanya tiap filosofi atau teori yang sebenarnya berat, dijelaskan dengan cukup sederhana dan mudah dipahami orang awam disini. Bahkan jika kamu cermat, sebenarnya banyak pesan tersembunyi di balik filosofi dan teori di sepanjang komik ini, salah satunya transmutasi manusia yang berakibat fatal bagi Elric bersaudara, karena jika ditilik secara biblikal, mereka telah dianggap mencoba melangkahi teritori Tuhan yang mengatur kehidupan dan kematian manusia. Ya, FMA mampu mengemas hal-hal semacam itu menjadi elemen komik shonen yang menarik tanpa terasa sok pintar atau sok berat.
Poin utama kelebihan serial ini, tentunya, adalah plot ceritanya. Awalnya, saya sempat ragu membaca FMA karena malas menemui tipikal plot komik shonen yang terlalu panjang, dengan banyak arc repetitif, yang ceritanya kadang terasa dipaksakan karena sudah terlalu lama berlanjut. Namun pacar saya menepis kekhawatiran saya dan berkata bahwa cerita di FMA ini sangat linear, tanpa filler, dan cukup berakhir di satu arc saja. Maksudnya, ceritanya konsisten dan tidak melenceng kemana-mana. Dari awal hingga akhir, ya musuhnya si itu-itu saja. Bukan seperti komik shonen lain yang seringkali terbagi menjadi beberapa arc dengan cerita dan tokoh antagonis yang berbeda namun dengan skrip yang mirip-mirip, demi mengalirnya profit. Untungnya, pacar saya benar, komik ini tidak terjebak dikotomi komik shonen yang klise, membuat saya—yang gampang bosan atau terdistraksi saat membaca serial panjang dengan progress lambat—betah mengikuti FMA. Premisnya pun, meski sekilas nampak one-track dan tidak terlalu istimewa, perlahan-lahan berubah rumit seiring perkembangan cerita. Ya, pada akhirnya FMA memang bukan sekadar tentang Elric bersaudara yang berkelana mencari Philosopher's Stone. :-P
Well, elemen-elemen shonen yang kental memang masih banyak ditemui disini, misalnya tema persahabatan, pembalasan dendam atas kematian seseorang, perebutan kekuasaan, dan lain-lain. Namun menurut saya, FMA ini agak dark untuk ukuran komik shonen. Bahkan di 5 jilid pertama, emosi pembaca sudah 'dihajar' habis-habisan. Melalui racikan jenius Arakawa, kita diajak untuk mengikuti Elric bersaudara dalam pencarian mereka akan Philosopher's Stone. Kita akan sama-sama diajak menghadapi pilihan-pilihan sulit, kemunculan tokoh-tokoh yang entah akan membuat kita bersimpati, jatuh cinta, atau sangat benci, fakta-fakta tak terduga, yang semuanya kelihatan telah direncanakan dan disusun rapi sejak awal komik ini dibuat. Apresiasi untuk Arakawa yang berhasil membuat plot yang konsisten dan rapi!
Tadi rasanya saya menyebut 'kemunculan tokoh-tokoh yang entah akan membuat kita bersimpati, jatuh cinta, atau sangat benci'. Tapi FMA ini adalah tipe komik yang tokoh-tokohnya tidak redundan; tidak terlalu banyak hingga saya yang pelupa ini tidak kesusahan untuk menghafal nama dan wajahnya (terima kasih untuk gaya menggambar Arakawa yang tokohnya tidak mirip satu sama lain), namun tidak terlalu sedikit juga hingga menjadikan komik ini monoton. Tokoh-tokoh yang ada kemunculannya begitu natural, dan saya pribadi tidak merasa ada tokoh tertentu yang menggangu keseimbangan cerita, terlalu deus ex machina, atau mengganggu secara umum—tahu kan, di komik biasanya ada tokoh tertentu yang menurut kita mengganggu, mungkin karena terlalu berusaha untuk ditampilkan sebagai tokoh comic relief yang selalu muncul meski perannya tidak signifikan dan tidak terlalu lucu? Sebenarnya, di FMA juga ada tokoh seperti itu, namun keberadaannya masih terbilang wajar dan justru kemalangannya membuat pembaca tertawa, alih-alih kesal.
Saya pribadi belum benar-benar punya tokoh favorit, tapi saya menyukai tokoh Al, si adik dari Elric bersaudara yang sifat lembutnya sangat kontras dengan kakaknya, serta Mayjen Armstrong dari benteng Utara, yang digambarkan sebagai sosok wanita sangat tangguh dan tegas yang mahir dalam berkelahi menggunakan pedang anggar. Oh ya, perlu digarisbawahi bahwa tokoh-tokoh wanita disini, meski memiliki karakter dan penampilan fisik yang berbeda-beda, semuanya ditampilkan dengan keren dan kuat dengan caranya sendiri—tidak ada tokoh damsel in distress ataupun 'tokoh wanita lemah yang ada demi menjadi pemanis dan mendampingi sang pria pemeran utama yang dicintainya'. Meski saya bukan feminis, saya suka sekali dengan penggambaran wanita kuat semacam ini. Ngomong-ngomong, nilai plus dari saya pribadi untuk serial ini karena Arakawa-sensei ternyata adalah seorang wanita. Ya, ia adalah salah satu dari segelintir kecil komikus wanita yang berhasil menembus kerasnya kompetisi komik shonen yang segmentasinya diperuntukkan untuk pembaca laki-laki dan mayoritas dibuat oleh para komikus pria.
Saya sebenarnya gemas sekali ingin menyisipkan spoiler, tapi begini saja deh: ending komik FMA adalah tipe ending yang cenderung membuat hati puas dan meninggalkan impresi yang dalam, bukan tipe ending yang berusaha tampil terlalu subtil atau menggantung. Sungguh, saya tidak menyesal membacanya hingga selesai. Jujur saja saya bukan penggemar berat komik shonen, tapi untuk FMA, saya berani memberi nilai tinggi. Tidak heran jika serialnya cukup mendunia, karena memang kualitas yang ditawarkan pun sebanding. FMA menawarkan cerita yang menarik (tentang alkimia, tema yang jarang diangkat dalam komik atau manga saat itu, dan memiliki unsur fantasi berbumbu sains) dengan setting yang menarik (di sebuah negeri bernama Amestris, yang mirip dengan sebuah negara di Eropa pada era perang, hanya saja dalam alternate universe). FMA menunjukkan bagaimana sebuah komik shonen dapat survive tanpa harus memenuhi tuntutan dan ekspektasi pasar. Kesuksesannya pun dapat dibuktikan dengan dibuatnya dua adaptasi anime dari komik ini, yaitu Fullmetal Alchemist dan Fullmetal Alchemist: Brotherhood (dimana yang kedua lebih mengikuti cerita asli komiknya). Selain itu, beberapa judul game dan movie tentang FMA pun telah dirilis, menandai kesuksesan komik dan animenya.
Jadi? Masih merasa belum tertarik untuk membaca FMA? Tenang, saya pun tidak suka dalam sekali lihat. Dan seperti yang saya sampaikan sebelumnya, tidak usah merasa terlambat untuk baru mengikuti serial ini, karena saya pun mungkin masih tertarik untuk membicarakannya 5-10 tahun mendatang. :-)
2 comments:
ingin punya daya ingat dan kemampuan bertarung seperti Elric bersaudara?
Kunjungi www.bakatsuper.com
Koreksi sedikit, gua anak 90an , dan lebih dekat ke seri2 jadul, gua suka fullmetal alchemist pas sd dulu, kalau generasi 2000an lebih dekat ke sao, snk, ya gitulah
Post a Comment