Wednesday, April 29, 2015

Ahem.

It seems like yesterday when I coincidentally met a friend and he asked me, "are you going to apply as an assistant lecturer?"

Thanks to him, I remembered my freshman's dream to help my juniors getting by in my favorite subject. I'm not the best tutor or mentor, but sure I love being in that position. I just love helping others to hone their skills with my fair share of experiences and knowledges, especially in my own field. So without a second thought, I applied. I turned in my CV and my academic transcript. First semester, I failed because I woke up late. In second semester, I woke up earlier and I made it. Yay! Early bird gets the worm, eh?

I was assigned to class four. Funny, because I was paired up with that same friend who reminded me of the assignment lecturer opportunity. He also failed on the first semester so practically we were really new to the class.

My first impression? Not much. But I immediately learnt that this class is actually better (if any of you—member of the class—happened to read this post, don't get cocky!) than other classes. They're somewhat tame and.. Tidy? DKV-ish? Whatever. I guess the credits goes to their previous assistant lecturers. I kinda feel grateful anyway, because well.. I don't need to spend my energy and time to get mad at their drawing skills. Oh wait, some of them were actually super terrible at drawing, but I just don't have the heart to say anything insulting :-P I don't know, I just don't feel like that discouragement will do them any good. Just not my style, I guess. Also, my partner is not the type of person who get worked up or get angry easily, so.. Class four is a bunch of lucky bastards to have a pair of nice, reserved, nurturing assistant lecturers like us. Hahaha.

Anyway. Next week is the last day of class and I suddenly got all melancholic, thanks to yesterday's class. Yesterday after class, we (the entire assistant lecturers) arranged a fake test for these freshmen. It consisted of five questions, and the fifth questions was something along "Who's your favorite assistant lecturer? You can draw them or describe them". And the result was somewhat pleasing and fun. Although I got no drawings (unlike my fellow assistant lecturers from other classes, *sobs*), at least some of my favorite fellas reciprocate my feelings. Yeah, I know, this is the opposite of 'senpai noticed me' situation. To make long story short; it really made my day. The end.

Is it worth it, being an assistant lecturer? Spending your whole day, from 9 to 3, being stuck with some clueless freshmen? Re-learn all the lessons that you already passed years ago?

Here's my answer: Yup! Best. Decision. Ever.

It was tiresome, of course, but I constantly get inspired to draw something after class—it helps a lot with my recurring art block. So yeah, being an assistant lecturer is a two-way thing: they got the lessons and the assistance needed for their drawing skills (and grade), meanwhile you got your mood boosted, mind inspired, fees (well duh, this ain't a volunteer work), and—this is my favorite part—you got new acquaintances and possible friends.

Dear my fellow partner or students from class four, if you ever happened to stumble upon this post; I'd like to thank you guys, personally, for making the most of my days for the last few months.  One semester is such a short period for me. I wish I had been assigned from the first semester so that I could remember each of your names and faces (that's right, I haven't memorized some of you! Sorry if I ever forget your name or face haha), or to know you guys better. Also, sorry for being a not-so-competent assistant lecturer and being clueless sometimes (that I could only say something like "make it bigger", "add something here", "it's too long"). I wish you guys get even better in terms of skill, and please, whatever your major would be, don't be too lazy to draw or get satisfied easily. See you at the mighty gedung SR! >:-D

..Now excuse me while I clear my throat.

Friday, April 10, 2015

This Case Really Grinds My Gears!

Tadi sore, gue baru aja baca sebuah artikel yang di-share Joko Anwar di akun Twitter-nya. Twitnya berbunyi seperti ini:


Baca kata 'Dating abuse case' dan 'ITB', jelas gue langsung tertarik buat ngeklik link-nya. Sekedar informasi, beberapa bulan yang lalu emang ada kasus penganiayaan antara mahasiswa dengan mahasiswi ITB yang berpacaran. Berita tentang kasusnya muncul dimana-mana kok, silahkan Googling kalo nggak males buat tau lebih lanjut soal kronologisnya. Atau langsung aja tengok link yang gue quote di atas, kronologisnya kasusnya juga diceritain kok meski nggak terlalu detail. Isi link-nya berupa artikel yang ditulis oleh orang yang udah pernah ketemu dan ngobrol langsung sama sang korban, Raras, jadi gue rasa isi tulisannya cukup kredibel. Coba baca aja ya.

Udah baca? Kalo udah, gue mau mengemukakan pendapat gue soal masalah ini.

Sejak baca berita tentang kasus yang pertama dulu, sebenernya gue udah sedih. Kok bisa-bisanya ada yang tega nganiaya pacar sendiri sampe segitunya? Kenapa harus nganiaya, kenapa nggak bisa diomongin baik-baik, be more civil? Sedihnya lagi, kok bisa-bisanya orang itu sekampus sama gue? Mengenyam pendidikan yang bagus dan menjalani hidup sebagai mahasiswa di kampus dan kota yang super nyaman ini?

Secara personal, gue nggak kenal sama sekali sama si pelaku yang bernama Firdaus. Angkatan kita beda, fakultas dan jurusan kita pun beda. Dia juga bukan tipe seleb kampus atau petinggi kampus, jadi jujur aja gue baru pertama denger namanya ya di kasus itu. Padahal, ternyata dia masih satu circle sama beberapa senior kenalan gue. Begitupun sama Raras, gue sama sekali nggak kenal karena beda angkatan, jurusan, dan fakultas. Jadi ya.. Penilaian gue terhadap mereka itu adalah penilaian terbentuk dari hal-hal yang gue baca dan gue denger tentang mereka.

Pernah, pas gue ngomongin soal kasus ini sama seorang temen, dia berkomentar kurang lebih seperti ini: "tapi katanya (kata temen-temennya temen gue yang kebetulan kenal sama si pelaku dan si korban, red), si ceweknya juga agak bitchy gitu."

Bitchy? Gue waktu itu nggak terlalu menanggapi, tapi kalo dipikir lagi sekarang, sebenernya perkataan semacam itu bikin kesel juga. Kalimatnya menyiratkan konotasi semacam, "she kinda deserves it anyway," atau "ya mau gimana lagi, salah juga sih ceweknya soalnya dia bitchy, ya pantes kalo sampe ribut dan si cowok nganiaya dia". Wah, jadi kalo kita bitchy, atau setidaknya dipandang bitchy oleh sebagian orang, adalah hal wajar kalo sewaktu-waktu kita diapa-apain cowok. Gila. Ini pembenaran yang nggak pantes, sih. Lagian, apa sih definisi 'bitchy' orang-orang ini? Berpakaian terbuka? Suka tebar pesona? Suka seks? Suka jahatin orang? Huft. Being bitchy is one thing, but got abused physically and mentally because we're considered as 'being bitchy'? That's whole another thing. Apa karena pacar lo berperilaku nggak baik lantas lo boleh mukul dia, jambak dia, bentak dia, ngekang dia, dan semacamnya? Nggak, kan? Orangtua sendiri aja belom tentu boleh, gimana yang statusnya cuma pacar.

Dan ini baru pacar lho, gue bergidik kalo membayangkan seandainya ini terjadi pas mereka suami istri. Ya, sisi positifnya, ini terjadi pas mereka 'baru' pacaran. Seenggaknya Raras jadi sadar kalo Firdaus bukan pasangan yang baik, apalagi calon suami yang baik. Kalo seandainya belum ada kejadian ini dan mereka lanjut ke jenjang pernikahan, yang kemudian baru nunjukin sisi gelapnya si Firdaus ini.. Mungkin lebih banyak lagi hal yang dipertaruhkan. Too bad, Raras had to learn it the hard way. :'(

Setelah berbulan-bulan kemudian gue udah nggak ngikutin kasus ini lagi, tiba-tiba muncul artikel di atas. Ternyata, kasusnya nggak berhenti sampai situ aja. Penganiayaan kedua terjadi ketika Raras diajak ke kosan Firdaus dengan intensi (yang harusnya) baik. Dan jujur aja, kronologis kasus yang ini jauh bikin gue kesal dan berkaca-kaca bacanya. Terutama bagian-bagian ini:

He told his landlord that she had been shamelessly pursuing him, coming over and wanting to spend the night.

“I was confused and I told the landlord I had been there since the night before, but Daus said he could check with Kris. I panicked and blurted out that I had been raped. It was a reflex.”

“His landlord yelled at me, ‘How can you be so shameless, you are a woman!’” she recounted him telling her.

Victim blaming detected! Ya, victim blaming alias menyalahkan korban adalah hal yang kerap dijumpai di kasus-kasus semacam ini, dimana korban merupakan seorang wanita dan kasusnya biasanya melibatkan perkosaan atau penganiayaan seksual. Silahkan cek tulisan menarik dari Kartika Jahja ini buat tau lebih banyak dan lebih melek soal fenomena victim blaming. Oh ya, victim blaming ini sebenarnya mengakar dari rape culture, sebuah budaya dimana pemerkosaan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat susah dihindari dan dianggap normal. Penjelasannya pun bisa kita baca di artikel ini.

“It’s even more challenging than domestic violence, because for our society, a young woman coming over to her boyfriend’s place is seen as asking for trouble. They would say, ‘No wonder she gets beaten up or raped.’”


Dan gue kenal banyak orang yang menegakkan rape culture ini, bahkan masih pake analogi 'kucing mana bisa nolak kalo disodorin ikan asin.' Padahal cowok masih punya yang namanya kontrol diri dan akal sehat sebagai manusia, bukan kucing yang nggak bisa ngontrol naluri binatangnya dan dateng tiap disodorin ikan asin (bahkan gue bingung sama cowok-cowok yang membela diri pake analogi ini, kok mau sih nyamain kaum sendiri sama binatang? Doh.). Pokoknya, hal-hal yang bertentangan dengan norma, adat, agama, seperti berpakaian minim atau mabok dijadikan pembenaran atas tindakan pemerkosaan (atau dalam kasus ini, penganiayaan) itu. Percaya deh, begini-begini gue termasuk cewek yang konservatif dan masih mengikuti sebagian ajaran agama, bahkan gue sebenernya agak risih ngeliat sesama cewek yang kemana-mana berpakaian minim, tapi bukan berarti kalo mereka diperkosa gue cuma manggut-manggut maklum, gue paling nggak suka sama orang yang punya pola pikir rape culture ini, kayaknya getol banget menjustifikasi pemerkosaan.

Kayak kalo dalam kasus ini, si bapak kontrakan malah marah sama si Raras yang mengaku diperkosa (dan terdengar nggak peduli sama kondisi Raras yang terguncang ataupun luka atau lebam yang mungkin keliatan), karena menurutnya itu salah Raras yang nginep di kamar cowok. It's really funny how people tend to focus and put the blame on small things that they considered as 'opposing the norms', but overlooking the main problemwhich is even bigger and brutalthat is not only opposed to the norms, but harmful for other people's mental and physical health. Gue nggak habis pikir.

OBR’s volunteer Icha said dating violence cases rarely go to court and most victims never report them, because a lot of the time they involve pre-marital sex, which is still frowned upon by society.

“Sex is being used to ‘tie down’ a girl to her boyfriend, making her endure being abused, because she feels that having lost her virginity makes her less valuable,” she said.

Penjelasan yang cukup logis dan masuk akal, menurut gue. Sori jadi OOT, tapi nyatanya, nggak jarang gue mendengar kasus semacam ini di dunia nyata: cewek merasa attached dan nggak mau putus sama cowoknya karena cowok itu yang udah merawanin dia. Ya, bener kata artikel di atas, antara 1.) dia merasa nggak berharga lagi dan nggak yakin ada lagi cowok yang mau sama dia pas putus nanti (karena kebanyakan cowok, ironisnya, cuma mau perawan), atau 2.) dia merasa cowok yang merawanin dia itu is The One, Mr. Right, apalah itu yang akan menikahi dia. Dikiranya seks itu semacam garansi atau reassurement kalo dia bakal dinikahi si cowok, mungkin juga cowoknya sebelum atau sesudah merawanin dulu berjanji bakal nikahin dia. Padahal mah.. Nggak tau deh.

Selain hal-hal berbau gender dan seksualitas di atas, ada lagi hal yang bikin gue melongo bacanya. Jadi, pas di pengadilan, district prosecutor (apa sih bahasa Indonesianya, jaksa wilayah?) yang harusnya ngebela dan ngebantu Raras, cuma ngajuin tuntutan enam bulan penjara buat Firdaus! Walah, gimana ceritanya tuh. Bahkan Raras pernah dibujuk buat menyudahi kasusnya karena si jaksa rupanya kasian sama Firdaus. Usut punya usut, si jaksa punya alasan sendiri kenapa dia cuma ngajuin enam bulan. Yaitu..

“The prosecutor told us, ‘I wanted to help you initially, but because of how it’s turned out, I’m having second thoughts. If you had problems with me, you should’ve told me. I regret ever putting Firdaus in jail. He seems like a nice kid, and his supervising professor has guaranteed that he is a good student. I don’t want to ruin someone’s future,’” Icha recounted the meeting.

Before she talked, the prosecutor asked to see their phones to make sure they weren’t recording the conversation, she said. 

Di bagian ini, gue cuma bisa mikir, "What the fuck?" Merusak masa depan orang lain? Wah, gila kali ya. Dikira si korban nggak rusak masa depannya? Gimana sih caranya biar pengen nyelametin masa depan seseorang yang udah ngerusak masa depan orang lain? Bingung gue. Apalagi si jaksa ini juga cewek, yang mungkin harusnya lebih bisa prihatin dan bersimpati sama kondisi Raras. Gue juga penasaran, se 'seems like a nice kid' apa sih si Firdaus ini, sampe orang-orang kayaknya lebih mihak dia? Beneran deh, gue berusaha senetral mungkin waktu baca-baca berita soal kasusnya dulu. Tapi baca kronologisnya, terutama di artikel ini, rasanya kok ya susah buat menyukai sosok Firdaus ini. Nggak tau sih kalo kenal orangnya langsung. Tapi kalopun Firdaus aslinya memang cowok baik-baik, kenapa sampe ngelakuin itu semua, dan nggak cuma sekali? Khilaf? Yeah sure, khilaf sampe dua kali.. Dan kalo dari apa yang gue baca (nggak cuma dari artikel di atas), tentang gimana mereka sampe bisa beradu mulut, reaksinya Firdaus, caranya Firdaus buat nutup jejaknya dia, gue punya impresi kalo si Firdaus ini pada dasarnya emang cukup temperamental dan egonya tinggi. Maaf kalo salah, ini impresi doang lho ya. Soalnya gimanapun media 'kan bisa melintir-melintir fakta, tapi gue memutuskan untuk percaya sama apa yang udah diceritain Raras sih.

Anywayyy, catatan aja: seorang mahasiswa yang baik bukan berarti otomatis seorang manusia yang baik juga, lho. 'Baik' dalam konteks akademis nggak ada hubungannya sama 'baik' secara moral, mental, atau perilaku. Tolong ya, ibu jaksa dan bapak dosbing.

Ngomong-ngomong soal masa depan, gimana kabar Raras dan Firdaus sekarang? Dari apa yang gue baca, Raras masih berjuang dengan kasus kedua meski nggak ada progres. Selain itu, kondisinya seperti ini:

She is taking a semester off this year, because she had had to miss a lot of classes due to the trial. But it isn’t just that – she also doesn’t feel emotionally fit to attend classes. Last semester, her grade point average dropped significantly, as she flunked one class and had to miss many days of school because she was sick.


But the worst part was that she felt she had lost some friends. They shirked from her to try to stay neutral. Behind this, she found out, were rumors circulating about her being a “psycho”, like the girl in the movie Gone Girl who fakes her own death to frame her husband.


These days Raras sees a counselor and a hypnotherapist, and takes medications to recover from her traumas. She still fears being with guys, and when someone raises her or his voice, she easily goes into a panic state.

.....Ya ampun. Gue yakin Raras bisa kuat, tapi dengan keadaannya yang kayak gitu, kok bisa-bisanya masih ada yang memojokkan dia dan malah belain masa depan Firdaus? Rumornya juga parah sih itu, mungkin orang-orang yang bikin rumornya adalah orang-orang yang sama kayak yang nyebut dia 'bitchy'. Mudah-mudahan Raras masih punya temen-temen yang tulus dan suportif, ya.

Lalu gimana dengan Firdaus? Katanya sih, dia di-skors satu semester dari kampus. Tapi..

She is not happy about Firdaus’ academic sanction, because she said it wouldn’t affect him much, as he had already passed his final assignment and had no more classes to take.

Wow. Beruntung banget dan tenang banget hidupnya si Firdaus ini ya kayaknya, masih bisa nyelesain TA di tengah peliknya kasus ini dan bahkan udah bisa wisuda kalo udah selesai skors nanti. Sebagai perbandingan, di kampus lain, kalo lo ketauan bikin video bokep, lo bakal langsung di-DO. So much for social norms, eh?

Btw, Firdaus kena sangsi dari kampus pun baru berbulan-bulan kemudian, setelah berkali-kali dikirimi surat oleh masing-masing pengacara dari kedua belah pihak dan oleh Raras sendiri. Alasannya sih, begini.

“We have no judges, police or prosecutors. Our paradigm is education, so our main goal is to find the truth and impose a sanction in the context of education. That’s why we tend to avoid punishments that are detrimental to someone’s future. It’s not punishing for the sake of punishing,”

Yang gue tangkep adalah: ITB cuma mau ngurusin kasus akademik. Apa itu kesejahteraan mahasiswa? Hahaha. Ini makin memperkuat anggapan kalo ITB itu kampus yang study-oriented banget.

Anyway, kira-kira itu pendapat gue. Seperti yang tertulis di artikel, kronologis ini diceritain dari sudut pandang Raras, dan belum dikonfirmasi kebenarannya ke Firdaus. Mungkin aja ada sisi lain dari cerita ini, tapi tetep aja, yang namanya kekerasan dalam hubungan itu nggak bisa dibenarkan, dan korbannya harus ditolong. Gue mendoakan keduanya aja deh, semoga Raras bisa menjalani hidupnya kembali seperti semula (you go, girl!) dan Firdaus nggak bakal mengulangi perbuatannya ataupun mengganggu Raras lagi. Gue juga berdoa semoga kampus gue tercinta ini cepet-cepet membenahi sistem maupun budayanya, berdoa semoga hukum di Indonesia nggak terus-terusan bisa dipelintir sesuka hati sehingga cenderung tumpul dan tajam ke pihak-pihak tertentu, dan berdoa semoga pola pikir masyarakat yang patriarkis ini nggak terus-terusan terbutakan 'norma' ataupun 'ajaran agama' yang dimisinterpretasikan. Aamiiin.


************************


Interesting side note:
Ironisnya, saat kasus ini kembali muncul ke permukaan–atau mungkin bukan 'kembali muncul' tapi lebih cocok dibilang 'muncul update soal kasus ini' (karena sepertinya orang-orang udah nggak ngurusin ini lagi)muncul film-film semacam Fifty Shades of Grey dan Gone Girl, yang keduanya menampilkan (dan memuliakan) sosok pasangan yang manipulatif sebagai tokoh utama. Yang satu abusive dan control freak, yang satunya lagi sadis dan psikopat. Tebak, mana yang lebih dipuja? Dua-duanya, tapi yang cowok, Mr. Grey, punya fans yang jauh lebih banyak di kalangan wanita. Tebak, mana yang lebih ditoleransi? Lagi-lagi Mr. Grey, karena dia nggak sampe membunuh orang ataupun memfitnah pasangannya, tapi 'cuma' menganiaya Ana secara mental sepanjang film dan bisa dibilang melakukan 'date rape'. Padahal, dua-duanya nggak sehat dan nggak bisa dibenarkan. Begitupun Gone Girl, meskipun gue suka banget sama filmnya, secara nggak langsung film ini bikin orang awam berasumsi kalo cewek adalah pihak yang selalu penuh drama dan gila dalam suatu hubungan. Makanya ada istilah crazy ex-girlfriend, bukan crazy ex-boyfriend. Ya, penggambaran hubungan nggak sehat tapi didistorsi sedemikian rupa agar terlihat unyu ataupun dramatis inilah yang sebenernya berbahaya buat membentuk pola pikir masyarakat. Hal ini bakal gue bahas kapan-kapan di postingan terpisah, tunggu aja ya.