Thursday, September 3, 2015

Ulasan Cepat Shonen Fight #1

Belakangan ini ada majalah komik yang lagi hype di kalangan otaku dan penggiat industri kreatif, yaitu Shonen Fight. Shonen Fight ini mengadaptasi banget format majalah komik dari Jepang, dari mulai tema, konten, sampe layout-nya. Kalo nggak salah sih emang petinggi dan tim editorialnya orang Jepang. Bedanya sama majalah komik sejenis seperti Shonen Magz dan Shonen Star, Shonen Fight ini isinya 100% karya komikus lokal. Komik-komiknya pun nggak semuanya Jepang banget kok, rata-rata malah ngambil setting di Indonesia.

Dan melihat hype-nya, ditambah komikus favorit gue ikutan di majalah komik ini, maka gue pun memutuskan untuk beli dan bikin ulasan alias review juga. Btw, buat yang mau beli, Shonen Fight ini agak susah didapet di Gramedia, kayaknya stoknya terbatas banget deh, jadi kalo ke Gramedia dan nggak nemu di rak jangan segan buat ngecek di komputernya ya, kalo tulisannya ada konfirmasi aja ke masnya, minta cariin gitu. Waktu gue beli gitu, dan masnya lama nyarinya, entah deh disimpen/disembunyiin dimana. Sejauh ini, yang gue tau pernah dilaporkan masih ada Shonen Fight itu di Gramedia Merdeka Bandung sama Gramedia Mall Citra Gran Cibubur (tempat gue beli).

Tambahan: Sebenernya sekarang gue udah beli dan baca sampe jilid dua, tapi berhubung tulisan ini dibuat saat dulu gue baru baca yang pertama, maka kali ini gue ulas Shonen Fight #1 dulu ya, hehe.

Ghost Loan
Kesan pertama baca komik ini: generik Jepang banget, dari mulai judul sampe ceritanya. Ghost Loan, seperti mayoritas komik di Shonen Fight, punya penyakit yang sama: mengambil setting di Indonesia (lengkap pake nama yang Indonesia banget!), tapi desain karakter dan background-nya masih kerasa sangat Jepang. Tapi gue pribadi suka Ghost Loan, karena Ghost Loan adalah salah satu komik yang kualitasnya bagus dan stabil, terutama dari segi art-nya.. Meski tokoh Reza yang di cover dan yang di isi komiknya rada beda; yang di cover mirip cewek, haha. Penyuka komik Jepang mungkin bakal suka Ghost Loan juga. Ceritanya sendiri lumayan hooking, meski ya itu tadi, generik. Dan ada bagian yang terasa dipercepat.

Jakanova
Kesan pertama baca komik ini: jadi keinget—tanpa bermaksud membandingkan—komik 5 Menit Sebelum Tayang (style-nya, tema broadcasting-nya) dengan cerita ala Phoenix Wright. Bisa dibilang cerita dan style Jakanova cukup menyegarkan di tengah komik-komik SF lain yang mayoritas temanya supranatural dan kental influens Jepang-nya dalam segi artwork. Premisnya orisinil dan menjanjikan, walau masih belom jelas bakal kayak apa. Agak bingung juga karena sekilas plotnya kayak serius, tapi pilot chapter-nya banyak unsur ngelawak. Kita liat saja ya, gue sih menantikan banget ini.

Jeenie
Ya, kayaknya semua orang yang nulis review SF sepakat kalo Jeenie ini yang kualitasnya paling lemah. Gue pun setuju. Cerita dan tema biasa, art-nya suka nggak konsisten, background minimalis, transisi antar panel suka terlalu cepet atau kurang pas, dan (ini gatau salah editing-nya apa gimana) banyak error buat tanda baca dialog-nya. Dibanding pilot chapter, chapter ini lebih cocok jadi filler. Jeenie sebagai karakter utama yang harusnya jadi daya tarik pun ya akhirnya gitu aja karena kemunculannya tidak digambarkan dengan baik dan karakternya kurang menonjol, kurang bisa memikat pembaca, IMHO. Mungkin niatnya mau jadi romcom kali ya, tapi sekilas gaya penceritaan Jeenie malah mirip komik anak-anak. Overall Jeenie masih banyak banget PR-nya, dari mulai penceritaan, skrip ceritanya sendiri, penokohan, sampe konsistensi gambar.

INheritage: Incarnation of Chaos
Sebagai pembaca yang gatau apa-apa soal game INheritage yang menjadi dasar dari komik prekuel ini, gue merasa awal dari chapter komik ini perlu ditambah lagi. Teknis sih rapi ya, dan nilai plus karena nggak males bikin background, walau kerasa computerized banget (bisa diliat dari adanya dua panel yang sama persis). Belom bisa komen soal ceritanya karena ceritanya pun belom terlalu jelas mau ngarah kemana. Sebenernya review INheritage susah untuk nggak bias sih, karena style art-nya gue nggak suka banget, haha. Tapi gue suka kok sama adegan penutup pilot chapter-nya.

Lost in Halmahera
Wah cukup mengejutkan juga ada komik 4 panel buat pengisi SF, apalagi tema dan gambarnya Indonesia banget. Tapi sesuai namanya, gue berharap komik ini lebih mengangkat lagi sisi Halmahera-nya. Contohnya udah cukup bagus di bagian angkot full speaker, tapi kemudian komik ini jadi menceritakan hal yang bisa terjadi di pulau-pulau (bahkan tempat) lain. Mungkin bisa ditingkatkan dengan menyisipkan kesulitan saat traveling, kearifan lokal yang lucu, dan lain-lain.

Perennium
Untuk ukuran pilot chapter, Perennium ini juga masih ngawang banget. Belom jelas arahnya kemana. Tapi gue suka konsepnya dimana peran Belanda disini digantikan sama alien. Setting-nya pun menarik dan unik, yakni di alternate history Indonesia. Seperti biasa, K. Jati nggak bisa kalo nggak nyisipin teori-teori eksistensial beratnya di komik yang dia buat, apapun genrenya, haha.

Oh Blood!
Kayaknya majalah komik shonen nggak lengkap tanpa fanservice, dan Oh Blood! ada untuk itu. Oh Blood! ini yang bagus adalah transisi panelnya, alus banget. Pose-pose karakternya pun oke, kayaknya banyak referensi komik Jepang ya. Secara teknis termasuk yang bagus lah pokoknya. Tapi, lagi-lagi bias nih, gue justru sangat nggak suka sama desain karakternya terutama rambutnya. Maaf banget. Dan gue suka merasa kombinasi style Jepang dan setting Indonesia disini agak off, apalagi dengan adanya sisipan dialog atau becandaan khas Indonesia yang sebenernya lucu dan nilai plus disini, sayang aja gitu. Tapi kalo style emang udah dari sananya sih ya.

Winternesia
Dengan tema seunik ini, tolong garisbawahi, buanyaaaak banget, yang bisa dieksplor dan diulik. Tapi, tolong garisbawahi lagi, sayaaaang banget Winternesia dieksekusi dengan lemah, bisa dibilang komik terlemah no. 2 setelah Jeenie. Poin utamanya adalah di style gambarnya yang berantakan, dan ketiadaan atau minimalisnya background setelah dua halaman pertama (perhatiin deh). Padahal Winternesia harusnya kuat di setting, karena siapa sih yang nggak mau liat kayak apa Jakarta post-apocalypse yang tertutup salju? Selain itu tone komik ini belom jelas mau lucu atau serius, konfliknya pun terasa agak dipaksakan. Karakter utamanya juga biasa aja, belom bisa menarik hati atau simpati pembaca.

Rabbit Vault
Menurut gue, dari segi art, komik ini paling eye candy, tapi juga salah satu yang paling nggak shonen (setelah Kalasandhi). Tipe art yang bagus kalo dijadiin ilustrasi deh pokoknya. Dari cerita sih masih kurang hooking, meski tema dan setting-nya paling beda sendiri (satu-satunya komik yang nggak berlatar di Indonesia). Kayaknya sih daya tarik Rabbit Vault ini ada di karakter utamanya, potensial banget, apalagi kalo pengembangan karakter dan hubungannya dengan karakter lain diperdalam.

Kalasandhi
Gue nggak yakin komik ini masuk golongan shonen, danberapa banyak sih SF butuh tema supranatural? Untungnya Kalasandhi berhasil stand out, karena komiknya memiliki unsur cerita vampir, cerita sejarah, dan pelajaran medisyang notabene kombinasi unik dan nggak banyak diangkat. Seperti Perennium, bisa dibilang setting Kalasandhi ini adalah alternate history Indonesia. Pilot chapter-nya cukup hooking dan bikin penasaran. Pengenalan tokohnya pun cukup dan karakterisasinya sendiri kuat. Dari segi desain karakter di antara komik-komik SF, Kalasandhi yang paling pas sama setting-nya. Kalasandhi juga menyisipkan trivia soal sejarah dan dunia medis, kudos buat risetnya.

Yak, begitulah. Sebenernya gue nggak mau bawa-bawa persoalan style Indonesia style Jepang, karena sah-sah aja sih bikin komik lokal yang style-nya heavily influenced oleh komik Jepang, apalagi emang SF ini berformat majalah komik Jepang dan digawangi oleh orang Jepang. Yang perlu diperhatikan adalah desain karakter dan penggambaran background untuk komik-komik yang 'berani' mengangkat setting di Indonesia. Sekali lagi gue tekankan, seperti yang gue bilang di awal, mayoritas komik di Shonen Fight punya penyakit yang sama: mengambil setting di Indonesia tapi desain karakter (terutama rambut dan gaya berpakaian) dan background-nya masih kerasa sangat Jepang. Eh background nggak terlalu sih, toh rata-rata background komik di SF #1 masih belom terlalu keliatan dan maksimal, palingan desain karakter yang keliatan banget.

Contoh bagusnya mungkin K. Jati, sebenernya style dia masih kerasa banget pengaruh Jepang-nya (bisa diliat dari muka, sebagian gaya rambut, dan figur tokoh-tokohnya), tapi dia bisa menggambarkan background dan atribut yang khas Indonesia (apalagi kalo liat komiknya yang 17+ atau Anak Kos Dodol) sehingga unsur Jejepangan tadi bisa diimbangi. Jakanova juga kayak gitu. Kalo contoh antitesis-nya sih jelas Kalasandhi ya, meski jatohnya jadi nggak shonen. Gue nggak bilang komik-komik di SF harus kayak contoh-contoh komik tadi, cuma saran gue: desain karakter yang sesuai. Dan jangan males ngeriset background. Hahaha.

Overall, SF #1 memuaskan kok. Diliat dari kualitas dan variasi komik yang ada (serta potensi komik-komik baru yang akan ada), bisa dibilang ini majalah komik lokal yang paling gue tunggu dan akan terus gue beli meski harganya paling mahal, hehehe. Akhir kata maafkan quick review gue yang bias atau tidak membantu. Semoga ke depannya makin baik ya, Shonen Fight!

No comments: