P.S.: Ini bukan review ya, purely apa yang gue rasakan secara pribadi aja.
Anime Blue Period akhirnya tayang di Netflix belum lama ini. Sebelumnya gue udah pernah baca manga-nya karena tertarik sama premisnya tentang perjuangan anak SMA yang ingin masuk kampus seni paling bergengsi di Tokyo. Sebagai mantan mahasiswi Seni Rupa, ofkors gue tertarik dongggg. Apalagi tema seni rupa cukup jarang diangkat di manga (terakhir yang gue tonton kayaknya Honey & Clover deh, itu pun lebih berat di drama antar karakternya). Perjuangan di sini sama di Jepang sana, sama nggak ya? Sejauh apa sih, aspek seninya dibahas?
Tapi setelah beberapa chapter, gue berhenti membaca. Nggak tau kenapa. Gambarnya cukup bagus, cerita oke, karakternya menarik, tapi waktu itu beraaaat aja rasanya buat ngelanjutin.
Fast forward beberapa tahun kemudian, Blue Period diadaptasi jadi anime. Karena anime menurut gue media yang nggak sesusah manga untuk dikonsumsi, akhirnya gue mencoba nonton. Udah caught up sama episode terbarunya (masih ongoing btw), gue juga mencoba untuk baca manga-nya lagi dan berhasil lanjut sampai ke chapter terbaru.
Barulah gue akhirnya paham kenapa dulu susah buat nerusin: Blue Period bikin medan seni dan berkesenian in general stressful as fuck, terlalu angsty :))
Karena killing with kindness sudah biasa. |
Buat yang merintis karier di medan seni mungkin iya stressful (ya semua pekerjaan juga gitu, sih), tapi masalahnya adalah.. Karakter-karakter di Blue Period so far tuh 1) Masih SMA, baru persiapan mau masuk FSRD lah istilahnya, dan 2) Kuliah tingkat awal. Kok udah stress duluan???? You guys still have a long way ahead of you! Berkarya aja gitu sesuka hati. Tapi ya, bukan Seinen manga namanya kalau nggak ada bumbu-bumbu stress dan breakdown gini. Kebanyakan manga juga pasti mendramatisir, sih.
Nggak cuma pas tes masuk kampus seninya atau pas dikomentarin dosen yang diceritain stressful (yang 2 tadi sih sangat dimengerti karena pressure-nya gede), bahkan proses ketika gambar sehari-hari atau buat tugas kuliah yang bukan tugas akhir pun diceritainnya stressful: dari mulai pemilihan tema, pemilihan material, gimana memvisualisasi konsep, berinteraksi sama temen lain, nyelesein karyanya, dan lain-lain.
Oke, mungkin pengalaman dan mindset tiap orang berbeda-beda, tapi yang gue rasain ketika dulu gue kuliah seni rupa di peminatan studio drawing mostly seneng sih karena selain sesuai minat gue, gue juga bebas bikin apa pun dengan media apa pun (selama masih dalam koridor drawing). Isn't art supposed to be fun? Mungkin juga gue bias bisa ngomong gini karena gue eventually nggak kerja di bidang seni. Tapi tetep aja, kecuali untuk beberapa hal, gue agak kurang bisa relate sama Yatora atau karakter-karakter lainnya yang rasanya taking art way too seriously. Beberapa hal jatohnya overthinking sih buat gue.
Ada sih beberapa momen yang bikin gue mikir: "oh iya, bener nih, bagian ini sulit banget emang" Tapi lebih banyak lagi yang bikin mikir: "EMANG SE-STRESSFUL ITU YA?" dan ujung-ujungnya ikut stress sendiri bacanya. Again, mungkin partly agak bias karena gue ngikutin Blue Period setelah lama lulus kuliah dan sekarang berkarier juga bukan di medan seni jadi bisa komentar sesantai itu, tapi kalo mahasiswa seni atau anak-anak SMA yang pengen banget masuk FSRD yang ngikutin Blue Period, mungkin impact-nya akan lebih kenceng ke mental, lebih stress lagi.
Tapi setelah gue pikir lagi, apa emang sengaja ya seni digambarin sebagai sesuatu yang berat? Karena selama ini masih banyak orang (kayak Yatora di awal cerita) yang udah meremehkan seni as it is: "gue juga bisa gambar kayak gitu", "enak kerjaannya gambar doang", "nggak perlu mikir", "kok gini doang mahal?", "emang ada duitnya jadi seniman?" dan lain-lain. Jadi anggaplah Blue Period ini sebagai gateway bagi orang awam yang mau tau lebih banyak tentang seni dan kalau seni itu nggak segampang/seindah keliatannya.
*sweats profusely* |
Jadi, intinya Blue Period jelek apa bagus, nih?
Jelek sih nggak dong (kalo iya nggak mungkin masuk nominasi dan menang awards), justru eye-opening banget baik untuk orang awam maupun yang sedang atau pernah berkecimpung di medan seni. Prosesnya seru buat diikutin, dan beberapa pengetahuannya berguna banget. Tapi buat beberapa orang, especially yang masih berada di medan seni, Blue Period bisa sangat triggering. Nggak cuma gue, beberapa temen gue yang dulu kuliah seni rupa juga merasakan hal yang sama.
Jadi, suka nggak sih sebenernya sama Blue Period?
Setelah percobaan kedua, bisa diakui gue suka. Gue penasaran akan dibawa ke mana manga-nya (apakah sampe Yatora lulus dan jadi seniman?) dan penasaran juga sama kelanjutan cerita beberapa karakternya (Yuka kenapa makin ke sini screentime-nya makin dikit ya di manga? Huhuhu). Art-nya juga walau bukan tipe art yang cantik tapi di beberapa panel dan two-page spread-nya kereeen banget. Cukup relatable juga, baik pas persiapan masuk kuliahnya sama pas kuliahnya sendiri. Tapi faktor utama yang gue nggak suka adalah manga-nya agak terlalu angsty aja buat gue dan terlalu angsty buat hal yang dulu gue anggap sebagai sesuatu yang menyenangkan. Overall tone-nya begitu sih, jadi jangan berharap bakal selalu uplifting atau berharap cerita-cerita heartwarming kayak yang di Honey & Clover ya, jauuuuh, dari genre juga beda banget. Tapi masih cukup menginspirasi kok untuk gue jadi punya penyesalan kecil karena nggak explore lebih banyak saat kuliah dulu, HAHAHA. Sama agak nggak realistis aja sih manga ini, masa nggak ada adegan temen-temen SMA setongkrongan Yatora ngomong: "gambarin gue dong hehe"?????????
Nah gini dong mindset-nya.. |
Sekian pengalaman gue, terima kasih udah mau baca sejauh ini. Buat yang akan, sedang, atau sudah pernah berkecimpung di medan seni: silakan coba baca/tonton Blue Period!
Oh ya, opening song anime-nya enak banget btw. Nggak pernah skip intro pas nonton di Netflix hehe.
1 comment:
Mantap
Post a Comment